Pesan Toleransi dan Perdamaian Pesantren

Realita sosial masyarakat Indonesia kini tengah mengalami luka, melihat banyak permasalahan terkait gejala sosial yang terjadi saat ini. Diskursi sosial yang terjadi membuahkan permasalahan-permasalahn yang sebetulnya sudah tidak asing lagi dalam literatur masyarakat Indonesia, yaitu mengenai sikap intoleransi yang terus memperburuk jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang lahir dari proses ke-bhinekaan.
Maraknya permasalahan sosial, mengenai banyak nya sikap intoleransi antar sesama, dengan begitu pula secara nyata melukai kedikdayaan Indonesia sebagai Negara yang di dalamnya menjamin kehidupan masyarakat yang majemuk. Sudah menjadi keharusan, bahwa Indonesia layak menjadi sebuah khazanah yang disana lahir sikap tolerasi dan perdamaian. Ekspektasi tersebut tak sesuai dengan realita yang kini dihadapi oleh Indonesia. Melihat banyak nya social problem yang terjadi di tengah kehidupan masyarakatnya.
Suburnya sikap intoleransi yang kian marak saat ini adalah tugas dan pekerjaan rumah seluruh komponen bangsa Indonesia. Sudah sepantasnya hal ini membutuhkan perhatian yang serius dalam mengentaskan permasalahan ini dengan baik, jika problem sosial ini dibiarkan begitu saja, maka kelak lambat laun akan menggerogoti nilai-nilai persatuan bangsa, yang termaktub pada prinsip ke-bhinekaan Indonesia.
Dewasa ini, potret akan sikap intoleransi ini bermunculan, salah satu nya akan insiden yang terjadi di Surabaya 2 hari sebelum pesta kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tanggal 15 Agustus 2019. Insiden kerusahan antar mahasiswa Surabaya dengan mahasiswa Papua menjadi gambaran bagaimana realita sikap intoleransi bangsa kita saat ini.
Konflik yang terjadi tak hanya antar mahasiswa Surabaya dan Papua saja, melihat relaita, konflik terus terjadi di kalangan aparatur Negara, yang seharusnya mengawal dan mendamaikan peristiwa ini. Banyak tindakan-tindakan rasisme yang dipertunjukan secera nyata di depan publik kepada rakyat papua yang berdomisili sebagai warga imigran di Surabaya. Mahasiswa Papua dikepung oleh sejumlah aparat, baik TNI, hingga penyerangan ormas oksioner pada saat itu. Hal senonoh bahkan kerap dilakukan, tindakan penyiraman gas air mata, hingga umapatan-umpatan bernada rasis yang ditujukan kepada mahasiswa Papua.
Melihat kenyataan yang ada, Papua memang kerap kali menerima perilaku tersisihkan dari kenyataan berbangsa dan bernegara kita. Pasalnya konflik yang terjadi bukan hanya saat ini saja, konflik yang mengangkat tentang sikap intolerensi sudah terjadi sejak tahun 1963 dialami oleh masyarakat Papua. Hingga sejauh ini, banyak warga Papua yang ditangkap paksa oleh aparat Negara.
Sesuai dengan informasi yang dilansir dari seorang Filep Jacob Samuel Karma, pria berusia 57 tahun, yang tak berhenti mengumandangakan suara kemerdekaan untuk Papua. Pria ini mengungkap korban hingga saat ini mecapai 6000 orang. Penangkapan ini semakin membuat situasi toleransi semakain mengenaskan, dimana pelanggaran HAM meningkat dan kebebasan mengemukakan pendapat dilarang.
Entah dengan dalih apa intoleransi ini berawal? Tapi yang jelas, ini merupakan bukti nyata ketidaksiapan bangsa kita menerima keberagaman yang hidup sebagai identitas Indonesia selama ini. Melihat realitas yang ada, maka secara langsung konflik intoleransi ini mulai menggerogoti ke-bhinekaan kita. Sehingga sudah selayaknya kita semua prihatin terhadap kondisi kebangsaan kita. Jika permasalahan intoleransi terus dibiarkan tumbuh subur di tengah kehidupan masyarakat kita, maka hal ini akan mengancam punah nya budaya keragaman dan kerukunan di tengah kemajemukan bangsa ini.
Tumbuh suburnya gejala intoleransi bernuansa perbedaan suku, etnis, bahkan hingga ke ranah agama, tidak akan lepas dari faktor-faktor yang melatarbelakanginya, yaitu pendidikan. Pendidikan inilah yang membentuk karakter dan mampu mendorong seseorang melakukan segala tindakan, sehingga lembaga pendidikan apa pun jenisnya memiliki tugas besar untuk menghadapi persoalan ini. Terlebih lembaga pendidikan keagamaan.
Cita-cita penting yang terbungkus dalam pendidikan keagamaan ada dalam ranah, bagaimana pendidikan ini bisa menciptakan manusia-manusia yang toleran, dan mampu menyebarkan nafas perdamaian di tengah keberagaman Indonesia. Salah satu pendidikan keagamaan yang khas, yang tumbuh dan berkembang di Indonesia hingga saat ini, yaitu pesantren.
Sejak awal historisnya, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang senantiasa menanamkan nilai pendidikan toleransi kepada sesama. Pesantren sebagai institusi pendidikan berbasis keislaman selalu mengajarkan nilai kearifan lokal dan menyebarkan budaya damai dalam keberagaman. Konsep tentang nilai-nilai toleransi dan perdamaian senantiasa terimplementasikan dalam budaya dan tradisi sehari-sehari kehidupan pesantren.
Proses pendidikan dalam ranah pesantren, selalu berpedoman dengan pendidikan responsif dan selalu bergandengan dengan kondisi dan keadaan psikologis masyrakat. Artinya pesantren mampu menyesuaikan kultur perkembangan zaman yang ada. Permasalahan-permasalahan terkait nilai toleransi dan perdamaian mampu dientaskan oleh pendidikan yang berada dalam naungan pesantren.
Tak berhenti disini, pendidikan pesantren juga selalu mengutamakan penanaman akhlak tasawuf yang dialektis dengan norma-norma masyarakat yang berkembang, serta penanaman nilai-nilai humanitas dan hak asasi manusia.
Maka dengan demikian, sudah tidak menjadi keraguan semata, bahwa pesantren sebagai basis pendidikan keislaman, sebagaimana dalam latar historisnya telah ikut andil membentuk dan menyiapkan generasi yang memiliki cara pandang, sikap, perilaku dan tata cara hidup yang mendukung tumbunya nilai toleransi dan perdamaian di Indonesia.
Melihat toleransi merupakan implikasi dari sebuah keberagaman manusia. Pesantren selalu mengutamakan penanaman nilai-nilai keislaman yang kuat, islam yang mampu menampung dan menerima keberagaman dengan utuh. Pada hakikatnya islam telah mengajarkan pada umat nya untuk hubungan kepada Allah (hablum minallah), dan juga hubungan pribadinya dengan sesama manusia (hablum minannaas).
Islam khususnya dalam ranah pendidikan pesantren mampu berperan besar menjadikan hubungan bermasyarakat merupakan sebuah keharusan bagi penganutnya dalam kehidupannya sehari-hari. Keharmonisan manusia dengan Tuhan nantinya akan terealisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan arti yang lain bahwa kesalehan sosial atau keharmonisan dengan masyarakat merupakan wujud komitmen dan dedikasi yang diberikan pesantren akan kesalehan individualnya dengan Tuhan, sehingga jauh dari tindakan intoleransi dan perilaku menafikan keberagaman yang dimiliki Indonesia.
Ditulis Oleh :
*Achmad As’ad Abd. Aziz
Anggota Aliansi Jurnalis Muda IDIA (AJMI). Mahasiswa Fakultas Tarbiyah, Program Studi Pendidikan Agama Islam.
Mantap tenan bung. Lanjutkan kurang atuh…. mantap
Mantap tenan. Lanjutkan kang….