Doa-Doa Terpanjang

Apa kabar, Ayah, Ibu. Semoga doa-doa ini selalu tersampaikan. Dalam hening yang begitu sunyi, sujud yang begitu dalam, dan air mata yang tak henti menetes di sela-sela hati yang kian menggali tempat kerinduan dalam sanubari.

Ayah, Ibu. Ketika hari pertama diriku dimasukkan ke dalam penjara suci ini oleh kalian, jujur saja, sangatlah sulit untuk aku merasa betah di pondok ini. Terus terang saja, setelah sekian lama, dua tahun lama nya telah berjalan, tanpa terasa semua perlahan terlewati. Berproses menempa diri di pondok menjadi bagian yang sangat sulit.

Tapi, Ayah, Ibu beruntunglah suatu ketika aku masih punya seorang Ustadz yang dengan kesabaranya dia mendidikku. Pernah suatu ketika ia mengatakan. “Hidup di pondok itu seperti sebuah pohon, ketika ia baru ditanam memang mudah dijatuhkan oleh angin, tapi ketika sudah besar atau sudah lama ia hidup, maka angin itu akan kesulitan untuk menjatuhkanya.”

Ayah, Ibu, saat ini aku sangat merasakan betapa pentingnya seorang guru sebagai seorang pengganti posisi kalian selama aku menjadi tholibul ilmi di pondok ini. Dengan nasehat dan tuntunannya aku dibesarkan, ditempa sedemikian rupa untuk mengerti hal-hal yang tidak pernah aku ketahui.

Kini buah hati kecil mu ini, lambat laun bertambah dewasa. Ia bercita-cita besar merubah hidup keluarganya. Sehari-hari Ayah berkerja, mengais sebutir nasi dengan bercucuran keringat demu sesuap makanan.

Enam tahun lalu, aku pernah berteman dengan salah seorang anak yang bernotaben keluarga yang berkecukupan. Segalanya kebutuhanya mudah terpenuhi, segala apa yang diingnkanya mudah didapat. Aku ingat suatu ketika ia memberiku uang I Juta rupiah untuk memenuhi kebutuhanku agar bisa mondok disini. Waktu demi waktu berjalan, Ayah dan Ibu masih berharap uluran tangan orang kaya itu agar bisa membayar keperluanku setiap bulan di pondok, itu semua kalian lakukan tak lain hanya ingin buah hati kecilmu ini bisa hidup lebih baik dari kehidupan kalian sekarang.

Pernah suatu ketika, aku ingat orang kaya itu berkata padaku untuk berusaha sekuat tenaga, belajar dengan tekun menjadi santri di pondok, agar dapat merubah kehidupan Ayah dan Ibu agar bisa jadi lebih baik.

Ayah, Ibu sehari-hari aku tak bisa membayangkan, peluh kerja keras kalian disana. Kalian tak pernah mengenal waktu untuk mencari nafkah yang halal agar bisa menyekolahkan aku disini. Tapi semua itu seakan berbanding terbalik dengan apa yang sehari-hari aku lakukan. Ayah, Ibu aku sering tidak mengikuti kegiatan muwajjah setiap malam, tak hanya itu ketika sekolah aku sering tidak masuk kelas karena beberapa alasan yang tidak logis aku lontarkan kepada ustadz.

Dari sini, aku memohon doa dari kalian. Karena tanpa lantunan doa yang kalian ucapkan, sungguh aku bukanlah siapa-siapa. Berpisah jauh dari kalian adalah bagian yang terus saja akan yakini sebagai sebuah perjuangan besar ku hari ini, demi masa depan yang lebih baik.

Terimakasih untuk kasih sayang yang tak terhingga sepanjang masa, berkat kalian aku mampu bertahan hingga hari ini, untuk meyakinkan diriku sendiri, bahwa jalan inilah (santri) adalah jalan terbaik yang engkau persambahkan untuk kebaikan-kebaikan masa depan ku nanti. Dalam sujud terpanjang, dan air mata yang mengalir dengan sejuta ketulusan, aku rindu membersamai kalian dalam lantunan doa sebagai ikhtiar yang senantiasa terlantunkan.

Gabiel Abied El-Haq, kelas III B, asal Jember

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *