Kisah Pantofel
“Bapak dulu, sering rasanya mau nangis kalau melihat kakak pakai sepatu itu,” ujar Bapak, saat saya menemukan sepasang sepatu pantofel lama. Sore itu saya memang sedang beberes barang-barang ‘kuno nan bersejarah’ yang menumpuk di lemari dan gudang.
“Setiap kali Bapak tawarkan untuk beli yang baru, Kakak selalu nggak mau. Kenapa coba?”
Saya terkekeh. “Ya, mau gimana lagi Pak. Kalau sudah nyaman, mau seburuk apapun penampilannya, kalau nggak dipakai, rasanya ada yang kurang. Serasa ada yang hilang,” kata saya. Dalam hati.
***
Ingatan saya kembali ke akhir tahun 2012. Ke masa-masa Aliyah. Awal naik kelas 5 TMI. Awal mula dilantik jadi pengurus ISMI. Awal mula diberi amanah untuk mengemban tugas dan belajar menjadi guru; yaitu mengajar KOMDAS di siang hari. Bagi kami saat itu, untuk menjadi guru, maka ‘wajib’ memiliki pantofel. Sepatu yang memberi kesan serius; bahwa mengajar tidak untuk main-main. Ia adalah pekerjaan mulia.
Maka, di suatu sore, dengan mengantongi uang tidak lebih 100ribu, saya bergegas menuju TOSERBA Pondok. Saya menemukannya. Berjejer di antara pantofel mentereng lainnya. Maka saya memilihnya; tidak terlalu mahal, tidak juga terlalu murah. Uang 100 ribu yang saya bawa, masih ada kembaliannya.
Pantofel itulah yang kemudian menemani perjuangan saya sampai akhir mondok (niha’ie). Dengan bangga saya membawanya ke atas panggung wisuda. Perjuangan bersamanya tidak main-main. Saya bahkan pernah membawanya keluar masuk sungai berlumpur saat Kursus Mahir Dasar (KMD) Pramuka. Karena itu, sudah tidak terhitung berapa kali bagian depan sepatu, antara sole dan upper, lepas. Sudah berpuluh kali ia selalu menganga macam buaya lapar. Dan kalau menganga, ia kadang tak tahu situasi. Saat sedang mengajar, ia menganga. Dalam perjalanan menuju dapur, ia menganga. Kalau sudah begitu, dengan terpaksa saya harus menyeret kaki saya seperti orang pincang. Baru sekarang saya malu kalau mengingatnya. Baru sekarang saya tercenung, kenapa saya tidak beli yang baru saja, padahal kiriman orangtua lancar. Bahkan sempat pula ditawari Bapak untuk beli yang baru. Dan saya menolak. Aneh.
Saya terus memaksanya berjalan. Untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu dia rewel, saya beli lem alteco. Menganga sedikit saja, maka saya akan menepi. Saya rekatkan kembali dengan ‘alteco’. Lumayanlah, meski tidak bertahan lebih dari seminggu, tapi ‘alteco’ membuatnya awet sedikit lebih lama. Karena itu, selain kutaib mini yang selalu saya bawa kemana-mana untuk mencatat berbagai ide, saya pun selalu membawa alteco di saku saya.
Bukannya saya tidak pernah membawanya ke tukang sol sepatu, tapi percuma. Kalau dia bisa bicara, mungkin dia akan mengeluh bahwa sudah waktunya ia beristirahat panjang.
Akhirnya. Seusai wisuda. Di awal pengabdian menjadi guru. Di akhir tahun 2014. Saya harus benar-benar mengistirahatkannya. Gantung sepatu. Saya harus mengucapkan ribuan rasa terima kasih padanya. Dan saya mulai menyongsong masa pengabdian dengan sepatu baru. Berat melepas yang lama, yang sudah nyaman, tapi juga senang menerima yang baru.
***
Beberapa tahun berlalu. Suatu sore, saya menyempatkan diri beres-beres gudang dan lemari penyimpanan saya. Memilah-milih barang lama yang mesti dipertahankan atau disingkirkan. Baru-baru ini saya sedang giat menerapkan konsep minimalisme. Konsep ini punya prinsip ‘less is more’ yang dipopulerkan seorang arsitek Ludwig Mies van Der Rohe di awal abad ke-20. Maksudnya, makin sedikit barang maka semakin leluasa. Makin sederhana, makin bagus. Maka mulailah saya mempreteli barang-barang lama, yang cuma menuhin ruang. Ngabisin tempat. Sehingga yang tersisa hanyalah benda-benda penting saja.
Keluarga saya termasuk golongan ‘kaum Tuo’, yang sangat menghargai koleksi benda lama; baju-baju lama, kasur-kasur bekas, ponsel jadul, bahkan kancing-kancing baju, dan benda-benda kecil lainnya. Semua masih tersimpan rapi.
Bukan hanya benda lama dan bersejarah. Benda yang baru masuk pun akan dijaga. Karena itu produksi sampah di rumah kami terbilang minim. Kami biasa belanja dengan membawa tas atau kantong sendiri. Kalaupun ada plastik sampai ke rumah, pasti jarang masuk ke tempat sampah. Semua disimpan. Maka, bertumpuklah barang-barang, dari yg paling kecil, hingga yg paling besar.
Dalam beberapa kesempatan, barang-barang itu akan disumbangkan. Plastik yang sudah menggunung tadi pun akan diberikan pada tetangga yang berdagang. Pakaian yang sudah tak dipakai, akan dikumpulkan lalu diangkut ke dusun kala mudik tiba.
Tapi barang-barang yang akan ‘diekspor’ itu tentu tetap melalui proses ketat. Ketat sekali. Siapa juga yang tak bingung jika harus memilih mana yang harus dipertahankan dan mana yang mesti diikhlaskan. Setiap barang mesti punya cerita dan sejarahnya. Dan sulit sekali merelakan sesuatu yg sudah nyaman menjadi milik kita. Tapi ketika sudah berlalu, rasanya lega sekali. Plong.
Maka di tengah beres-beres itu, saya menemukannya; sepasang pantofel itu. Berdebu. Terhimpit di antara barang-barang ‘kuno dan antik’ lainnya. Penampilannya makin ringkih. Saya benar-benar dilema. Berhadapan dengannya membawa saya ke masa lalu. Saya berfikir cukup lama; apakah harus mempertahankannya, atau menghibahkannya ke tukang loak? Akhirnya, saya harus berbesar hati. Biarkan ia pergi untuk dikenang. Jangan paksa ia untuk menetap, namun tak pernah ditatap. Akan ada saatnya menemani. Akan ada saatnya pergi. Yang pergi akan pulang, namun harus siap jika tak kembali.
Oleh:
Dzikry Amrullah
Alumni TMI Al-Amien Prenduan tahun 2014, asal Palembang
Wah masyaallah Ust. Zikry tulisan antum membuat saya berdecak kagum yang dicampur kenangan dengan antum dulu
Terimakasih atas goresan literasi yang sangat menggugah ustadz
Jangan bosen-bosen nulis yah
Saya akan terus baca karya-karya nya antum