Santri, Manusia Multidimensi

Slogan-slogan dimuat dalam berbagai frame di jagat maya sebagai tanda kebanggan tersendiri bagi kaum sarungan. Hari santri tidak hadir begitu saja, semua itu datang beriringan sebagai sebuah refleksi untuk melihat seberapa jauh peran santri dewasa ini.
Waktu yang terus berjalan, di tengah kondisi pandemi yang masih belum tuntas terselesaikan, yang mana peringatan Hari Santri tetap dilaksanakan dengan mengangkat tema ”Santri Sehat, Indonesia Kuat.” telah menjadi realitas yang harus dihadapi umat manusia, termasuk pesantren dan masyarakat Indonesia, dimana kondisi pandemi ini telah mengubah banyak hal. Maka perlu kiranya kaum sarungan untuk lebih survive menghadapi kenyataan ini, pesantren harus menjadi bagian dari harapan penyelesaian masalah setiap saat, di samping itu masih banyak hal-hal lain, mengenai respon modernitas sekaligus usaha mempertahankan identitas dan jati dirinya. Bahkan santri harus mampu menghadapi peliknya globalisasi dengan penuh kemandirian dan keadaban.
Siapapun tidak dapat mengingkari, bahwa Indonesia menyimpan potensi keberagaman yang sangat besar. Maka dalam hal ini santri harus memainkan perananya sebagai pengikat kesatuan dan keragaman.

Realitas diatas menunjukkan bahwa perkembangan pesantren terus menapaki tangga kemajuan, tanpa menghilangkan identitas pesantren dan santri nya menjadi bagian dari terwujudnya harmoni dalam kehidupan yang semakin beragam di era ini.
Sebab Islam memegang teguh kendali doktrin keagamaan yang menjustifikasi adanya sebuah perbedaan. ”lakum dinukum waliyadin” (QS. Al-Kafirun,6) yang berarti ”bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Sebuah pesan kedamaian yang sangat indah tentang kebebasan beragama yang ditujukan oleh Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat islam.
Islam hadir tanpa sebuah paksaan, ajaran kedamaian selalu menjadi aspek utama penyampai dakwah di muka bumi ini. Dan pada akhirnya semua itu mengarah pada hasil usaha dakwah umat islam kepada umat lainnya yang tergambar dalam sebuah ungkapan ”la ikraha fiddin” (QS. Al-Baqarah, 256) yang artinya ”tidak ada paksaan dalam beragama.
Sebuah rasa yang pantas, jika santri yang berkembang di era derasnya arus globalisasi ini bisa menjadi penyampai ajaran islam yang ”rahmatan lil alamienn.” Menjunjung tinggi nilai-nilai keharmonisan dalam suatu keberagaman.
Harmoni yang berangkat dari kesamaan-kesamaan, kalimatun sawa’ yaitu kesamaan pandangan di dalam kerangka humanitas, kemanusiaan, santri yang mengedepankan harmoni antar umat beragama dalam kesamaan pandangan tentang kemanusiaan.
Cerita tentang Gus Dur hingga hari ini tak pernah habis diperbincangkan sebagai salah satu potret kaum sarungan yang berhasil memeluk keberagaman masyarakat Indonesia pada masa nya. Berbagai sebutan mengindikasikan sosok Gus Dur sebagai manusia multidimensi.
Gus Dur muncul di berbagai arena kehidupan bangsa Indonesia, bahkan ia menjadi counter atas pemegang kendali tertinggi demokrasi hingga kekuasaan pemerintahan pada masa itu. Sebagai kaum sarungan ia tak pernah menghilangkan identitas nya untuk bisa menjadi pribadi yang hadir dalam segala lini keberagaman. Gus Dur senantiasa menjaga konsistensinya dalam membela segala bentuk dominasi, apakah dominasi agama, modal, birokrasi, negara dan sebagainya.
Dalam konteks ini, konsep santri sesungguhnya harus mengarah pada silaturrahmi atau menyambung tali persaudaraan. Tidak hanya terhadap sesama kelompok tetapi juga terhadap kelompok yang lain.
Dalam kerangka keberagaman ini, perlunya kita untuk mengintropeksi diri mengenai peran santri dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya masih kompleks, maka disinilah peran santri untuk andil merajut kasih sayang, saling menghargai, dan membangun toleransi diantara perbedaan-perbedaan. Sebab kehidupan sejatinya selalu menyisakan ruang untuk dialog kesetaraan sehingga permasalahan-permasalahan yang terasa berat pun dapat diatasi bersama.
Komentar Terbaru