Pemuda; Runtuhkan Radikalisme, Tumbuhkan Nasionalisme

Layaknya pengguna kacamata, pemandangan yang terpampang di depan wajah akan senantiasa menyesuaikan dengan apa warna kacamata yang dia gunakan. Ketika kacamatanya cokelat, maka pepohonan di simpang jalan tak akan lagi berwarna hijau, akan tetapi cokelat, begitu seterusnya.

Dari perumpamaan di atas, itulah gambaran atau perumpamaan bangsa Indonesia saat ini, dengan kesekian masalah yang kerap kali dihadapkan kepada kita dalam proses berbangsa dan bernegara. Negara Kesatuan Republik Indonesia, tengah digunjing habis-habisan mengenai pemahaman akan isu-isu radikalisme.

Pada dasarnya radikalisme sudah ada sejak zaman dahulu karena sudah ada di dalam diri manusia. Namun, istilah “Radikal” dikenal pertamakali setelah Charles James Fox memaparkan tentang paham tersebut pada tahun 1797.

Adanya Radikalisme adalah suatu ideologi (ide atau gagasan) dan paham yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan/ ekstrim. Pembicaraan mengenai radikalisme adalah sikap dan tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengusung perubahan yang diinginkan. Kelompok radikal umumnya menginginkan perubahan tersebut dalam tempo singkat dan secara drastis serta bertentangan dengan sistem sosial yang berlaku.

Radikalisme sering dikaitkan dengan terorisme karena kelompok radikal dapat melakukan cara apapun agar keinginannya tercapai, termasuk meneror pihak yang tidak sepaham dengan mereka. Walaupun banyak yang mengaitkan radikalisme dengan Agama tertentu, pada dasarnya radikalisme adalah masalah politik dan bukan ajaran Agama. Fenomena radikalisme di kalangan umat Islam seringkali disandarkan dengan paham keagamaan, sekalipun pencetus radikalisme bisa lahir dari berbagai sumbu, seperti ekonomi, politik, sosial dan sebagainya.

Banyak pihak yang berseteruh, bahwa radikalisme hingga saparatisme merupakan dua ideologi pemikiran yang lahir didorong oleh adanya doktrin-doktrin keagamaan yang melampaui batas wajarnya.

Radikalisme yang berujung pada terorisme menjadi masalah penting bagi umat Islam Indonesia dewasa ini. Dua isu itu telah menyebabkan Islam dicap sebagai agama teror dan umat Islam dianggap menyukai jalan kekerasan suci untuk menyebarkan agamanya. Sekalipun anggapan itu mudah dimentahkan, namun fakta bahwa pelaku teror di Indonesia adalah seorang Muslim garis keras sangat membebani psikologi umat Islam secara keseluruhan.

Berbagai aksi radikalisme terhadap generasi muda kembali menjadi perhatian serius oleh banyak kalangan di tanah air. Bahkan, serangkaian aksi para pelaku dan simpatisan pendukung, baik aktif maupun pasif, banyak berasal dari berbagai kalangan.

Melihat dari sisi pandangan yang lain, adanya radikalisme kerap kali menjadi pelebur modal sosial yang selama ini dimiliki oleh Indonesia. Hilangnya modal sosial bangsa Indonesia yang disebabkan paham radikalisme yang berlebihan ini menunjukan pada sebuah keniscayaan bahwa literatur sosial kita saat ini sedang terluka. Banyaknya tindakan kekerasan, masif dan pasif, mulai dari kekerasan yang terjadi antar suku, ras, adat dan golongan seperti halnya peristiwa Wamena yang merupakan konflik perseteruan atas dasar pemetaan suku atau ras, dalam peristiwa ini kembali merenggut 32 nafas-nafas manusia yang tak bersalah, hingga akhirnya berdampak pada luka dan duka nyata kita, bahwa diantara kekayaan suku, keragaman ras dan adat, agama serta budaya yang kita miliki, Indonesia masih belum siap secara utuh untuk menjadi masyarakat yang hidup dalam bingkai keberagaman.

Selanjutnya, hal yang sering kali melatarbelakangi adanya perkembangan pemahaman kelompok radikalisme ini yaitu tumbuh suburnya sikap ‘ketidakadilan’ dalam miniatur berbangsa dan bernegara. Ketidakadilan ini telah menjadi sebuah gambaran yang kerap kali kita jumpai dalam bangsa dan tanah air kita. Dari mulai ketidakadilan ekonomi, sosial, politik, hingga pendidikan.

Keadilan ekonomi senantiasa mewarnai pemahaman seseorang atau kelompok tertentu untuk bertindak secara radikal. Sebagaimana realitas yang kerap kali kita hadapi saat ini, banyak sekali terjadi ketimpangan ekonomi, mulai dari penerimaan pendapatan yang tak pernah sesuai dengan ekspektasi kerja individu, kemiskinan, tidak meratanya  pendapatan daerah, hingga penguasaan ekonomi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu.

Dari sisi ketidakadilan pendidikan, kita sering kali menjumpai transaksi-transaksi komersial yang terjadi dalam dunia pendidikan kita saat ini. Tidak meratanya keadilan dalam sistem pendidikan Indonesia sudah menjadi tontonan yang wajib kita jumpai di setiap harinya. Mereka yang kaya, dan memiliki kedudukan politik, kekuasaan akan mampu menikmati sekolah-sekolah yang bertaraf dan berkualitas tinggi. Jika teks-teks komersialisasi pendidikan ini terus dibiarkan tumbuh subur begitu saja, maka tak heran jika sikap radikal menjadi bagian dari otput ketidadilan ini.

Tak hanya itu, banyak sekali transaksi-transaksi yang dilakukan oleh seorang pendidik dalam dunia pendidikan kita hingga hari ini. Dimana keberadaan seorang guru memegang jaminan kelulusan seorang murid, jika seorang peserta didik (murid) mampu memberikan imbalan-imbalan khusus, baik dalam bentuk transaksi nominal maupun dalam bentuk lainnya.

Ini menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini, pemuda memegang peran yang signifikan sebagai agent of control atas ketimpangan masalah atau isu-isu yang berkembang terkait paham radikalisme di Indonesia. Pergerakan dari kaum muda perlu segera terealisasikan, sebagai generasi bangsa yang harus mampu berkesinambungan aktif akan permasalahan radikalisme yang dihadapi Indonesia saat ini.

Pemuda dengan ghirah semangat yang luar biasa, haruslah mampu menyuarakan ketidakadilan ini dengan baik. melihat peranan seorang pemuda selalu ada pada posisi yang urgent akan terwujudnya masa depan dan cita-cita bangsa.

Pemuda dengan semangat nasionalismenya tentu diharapkan mampu mengubah skema sejarah sebuah bangsa, terutama dalam mengentaskan pemikiran-pemikiran radikal yang tak kunjung pernah terselesaikan hingga hari ini.

Maka dengan semangat kepemudaan, pada tanggal 28 Oktober yang sudah kita kenal dengan hari lahirnya sumpah pemuda ini, mari bersama-sama mengembalikan peran seorang pemuda bagi suatu bangsa untuk kembali menampilkan fitrah Indonesia sebagai bangsa yang mampu hidup dalam keberagaman, dan menjauhi doktrin pemahaman radikal yang merusak susunan berbangsa dan bernegara.

Pemuda harus kembali menyatupadukan agama dan semangat nasionalisme  demi keutuhan NKRI di masa-masa yang akan datang. Karena jika mengkaji secara baik, bahwa lahirnya paham radikal bukanlah semata-mata disebabkan oleh dalamnya ajaran agama tertentu. Agama yang datang di Indonesia tidaklah bersifat invansif. Agama senantiasan hidup subur dalam keberagaman masyarakat Indonesia.

Lahirnya berbagai macam kepercayaan agama di Indonesia menjadi titik awal kebergaman lahir, awal mula memang Hindu dulu, lalu menjadi Hindu yang tinggal di Indonesia, dan lambat laun akan berubah menjadi orang Indonesia yang beragama Hindu. Begitu halnya dengan penganut agama Budha dan Islam yang datang ke Nusantara. Awalnya Islam, lalu menjadi Islam yang tinggal di Indonesia, dan lambat laut itu semua akan berubah menjadi orang Indonesia yang beragama islam. Ir. Soekarno pernah menggambarkan dalam sebuah tulisan dalam bukunya “Mentjapai Indonesia Merdeka” bahwa kata Indonesia selalu berada di titik awal, di depan agama yang mereka anut, bahkan di depan segala macam perbedaan yang ada. Kebhinekaan Indonesia menjadi dasar bagi tumbuhnya Nasionalisme yang lahir dari keperbedaan yang dilandaskan dari kecintaan pada tanah air.

Dengan demikian, tidak ada argumentasi yang kuat, yang menyatakan bahwa suburnya radikalisme didukung oleh adanya pemikiran-pemikiran agama tertentu, terutama agama Islam. Pada hakikatnya Islam selalu mengajarkan bagaimana menjadi pribadi yang memiliki jiwa nasionalis yang kokoh, berasaskan keimanan, kecintaan terhadap tanah air Indonesia. Sehingga diharapakanya akan membentuk sebuah Negara Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur.

Ditulis oleh;

Achmad As’ad Abd. Aziz

Anggota Aliansi Jurnalis Muda IDIA (AJMI), Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *