Haji; Narasi Persatuan Umat
Nuansa ibadah haji, mewarnai hiruk pikuk kehidupan masyarakat kita saat ini. Pasalnya ritual ibadah haji ini telah menjadi rutinitas umat muslim bagi yang mampu untuk menunaikanya. Sungguh hal ini hanya dilakukan bagi setiap muslim yang mempunyai catatan kekutan untuk menunaikanya, baik kekuatan secara fisik maupun secara finansial.
Meminjam istilah yang diutarakan Muhammad Sholikhin, secara bahasa haji adalah berziarah, berkunjun atau berwisata suci. Dalam istilah fiqh, haji memiliki makna perjalanan seseorang ke ka’bah guna menjalankan ritual-ritual dengan cara dan batas waktu yang telah ditentukan.
Haji juga merupakan salah satu dari lima rukun islam, disamping syahadat, sholat, zakat, dan puasa. Haji juga kerap menjadi simbol atau momentum pertemuan seluruh umat muslim seantero dunia. Seluruh umat muslim di dunia, Allah pertemukan saat itu di satu tempat suci yang Allah jaga hingga akhir hari kiamat nanti, Mekkah al-Mukarromah. Allah pertemukan berjuta-juta umat muslim disana, tentunya tanpa membedakan status pribadi yang disandang setiap orang, dengan pakaian yang sama yaitu kain putih yang menyelimuti seluruh tubuh, atau ihram, tak ada tujuan lain yang ingin hendak dicapai, kecuali sebagai wujud nyata harmoni kesatuan umat islam.
Jika mengkaji secara garis historisnya, Mekkah telah menjadi kiblat seluruh muslim di dunia untuk beribadah. Ribuan tahun yang lalu, khazanah islam berkembang pesat disana. Sejarah keberadaan Mekkah merupakan sebuah kota yang terletak di gurun pasir nan gersang.
Tak banyak yang mengungkap sejarah periodisasi kota Mekkah, setelah Nabi Ismail. Selang 25 abad kemudian, atau sekitar abad ke-5 masehi (420 M) keberadaan kota Mekkah mulai terkuak, yaitu pada masa Qushay bin Kilab, kakek kelima Nabi Muhammad SAW. Dan pada abad ke-6 (571 M) kota Mekkah semakin terkenal ke seantero dunia, karena pada masa itulah penghulu para Nabi, yakni Nabi Muhammad SAW dilahirkan. Bertepatan dengan itu semua, lahirlah islam sebagai agama yang dibawa nabi dengan menyandang ajaran rahmatan lil alamien.
Agama menjadi bagian yang sensitif di kalangan semua umat manusia. Penyampaian agama yang telah berjalan dalam kultur umat, tidak bisa digantikan dengan lahir nya sebuah agama baru, kecuali dengan adanya sebuah kesadaran, bahwa agama lama atau kepercayaan yang sudah ada tidak mampu memberikan kepuasan rohani.
Bagi masyarakat Mekkah Pada masa awal penyebaran islam, Ada dua hal yang menjadi konsepsi utama Nabi Muhammad sebagai jalan yang hendak ditempuh dalam dakwah islam. Ekspansi penyebaran islam tak selalu memperoleh hasil yang baik. Pasalnya dakwah sebagai jalan yang dilakukan Nabi Muhammad dalam menyebarkan islam tak selalu diterima oleh kaum Mekkah, yang pada masa itu mayoritas masyarakat arab khususnya makkah, dikenal dengan sebutan kaum jahiliyah. Sebutan ini disemaikan pada kaum Mekkah ketika itu, lantaran mereka mempunyai kepercayaan warisan nenek moyang.
Kultur masyarakat yang ada pada waktu itu menganut keyakinan Paganisme (suatu kepercayaan spiritual, atau praktek penyembahan terhadap patung dan berhala). Kepercayaan paganisme tersebut telah menjadi tradisi yang erat dilestarikan ketika itu. Ajaran ini berkembang dari kakek buyutnya, alias turun temurun dari zaman arab jahiliyah.
Penyebaran islam yang pertama kali dilakukan Rasulullah di Mekkah tidak membuahkan hasil yang maksimal. Tak sedikit masyarakat Mekkah ketika itu yang menolak hadirnya islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Hal ini bisa kita telisik, dari banyak nya cacian, makian, bahkan hingga tak jarang Rasul menerima tindakan-tindakan rasis yang semena-mena dilakukan oleh kabilah Makkah ketika itu. Tapi ada beberapa orang yang saat itu punya keyakinan untuk memeluk islam, diantaranya, Siti Khadijah (istri nabi) dan para sahabat Rasulullah.
Tentu hal yang sedemikian rupa, membuat Rasul memutuskan untuk hijrah ke Madinah. Madinah menjadi sebuah ruang dakwah baru bagi Rasulullah Saw, setelah dakwah di Makkah di Mekah terasa sempit bagi dakwah Rasulullah Saw dan umat islam pada waktu. Hal ini bisa dirasakan saat awal respon yang diberikan orang-orang Yastrib (Madinah) yang datang ke Mekah pada bulan haji, atau yang kemudian dikenal dengan perjanjian Aqabah.
Keberhasilan dakwah Rasul pada waktu itu, bisa dilihat dari orang-orang Yastrib, saat itu dengan hati yang terbuka mereka mau mengubah sikap dan perilaku mereka, bahkan tak jarang masyarakat Yastrib ketika itu bersedia menjadi pelindung Rasulullah Saw. Karena pada dasarnya dakwah merupakan suatu media untuk mengubah tradisi masyarakat dari negative menjadi postif atau berakhlak mulia, dari masyarakat tertinggal menjadi kultur masyarakat yang berperadaban.
Derap langkah Rasulullah Saw, dalam membangun sebuah peradaban baru adalah dengan menciptakan sebuah persaudaraan. Sebagaimana kita ketahui, ketika kaum Muhajirin atau pengikut Rasulullah Saw yang hijrah dari Mekah ke Madinah, banyak yang menderita kemiskinan, karena tak jarang harta benda mereka semua ditinggaal di Mekah.
Setalah berhasil mengikat masyarakat Madinah dan Mekkah yang hidup dalam suatu keberagaman tersebut dalam satu ikatan, kemudian Rasul kembali ke Mekkah untuk menyebarkan syiar islam yang belum terselesaikan dengan membawa satu kesatuan umat dalam tali persaudaraan, kaum Muhajirin dan Anshar. Pada moment inilah Rasul menciptakan sikap persaudaraan sesama muslim antara kaum Anshar dan Muhajirin. Saat itu pula, Rasul saat pertama kali kembali ke Mekkah bersama rombonganya Rasul melakukan Thoaf, berkeliling Ka’bah seraya bersenandung kalimatullah.
Tindakan Rasul yang demikian, meruapakan awal bangkit nya islam dengan kesatuan umat yang kokoh. Maka dari itu sangat urgent sekali keberadaanya, bagi kita untuk selalu mengkaji secara kritis, bagaimana Rasullullah mengajarkan pada umat nya untuk mendekap tali ukhuwah sesama muslim.
Dari momentum haji yang saat ini tengah dilakukan pada bulan-bulan haji, Syawal, Dzulqa‟dah, dan 10 hari pada permulaan Dzulhijjah, bisa menjadi narasi persatuan umat yang semestinya dibangun dengan hakiki.
Seruan dan panggilan untuk melaksanakan ibadah haji sejatinya merupakan sebuah anugerah yang indah, perintah haji, tak semena-mena datang sebagai sebuah kewajiban saja akan tetapi isyarat terdalam dari semua itu adalah simbol kultur masyarakat dalam persatuan dan kesatuan yang kuat. Di mana seluruh ummat Islam dari bermacam bangsa, beragam bahasa dan berbeda warna datang di tanah suci Makkah dalam rangka, demi lahirnya pensucian diri. Mereka berpakaian serba putih, yang merupakan warna kostum ihram yang disunnahkan. Mereka berkumpul di tempat yang sama pada saat wuquf.
Inilah fenomena persatuan dunia Islam dalam bingkai ibadah. Dan yang seharusnya bisa dipraktekan dalam kehidupan ummat Islam secara internasional dan regional. Haji harus menjadi inspirasi ummat ini untuk saling merajut sikap kebersamaan dalam bingkai persatuan menuju terbentuknya “Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafuur” dan selanjutnya lahir “Pemerintahan Ala Manhajin Nubuwwah” atau “Khilafah Islamiah” yang menjadi soko guru dunia. Betapa indah, ketika kita menemukan keharmonian yang sempurna dalam tubuh ummat ini. Saling mengasihi, saling tolong menolong dan saling menguatkan satu sama lain. Bingkai harmoni yang diciptakan merupakan narasi persatuan dan kesatuan dalam dekapan ukhuwah kepada sesama.
Ditulis Oleh;
Achmad As’ad Abd. Aziz
Anggota Aliansi Jurnalis Muda IDIA (AJMI). Mahasiswa Fakultas Tarbiyah, Program Studi Pendidikan Agama Islam.
Komentar Terbaru