Menggelorakan Semangat Hijrah Masa Kini

Sejenak saat ini kita telah bersama-sama mendengarkan suara doa-doa yang terpanjatkan di surau-surau kampung, masjid-masjid besar di tengah kehidupan sibuk perkotaan, hingga di seluruh penjuru dunia, semua umat muslim menyerukan doa-doa, pada waktu sebelum maghrib atau sebelum matahari terbenam dan kemudian dilanjutkan doa setelah maghrib.  Kedua waktu doa tersebut Sejatinya merupakan simbol yang sakral keberadaanya bagi setiap muslim, karena disanalah, dalam dua waktu doa itulah menjadi lembaran akhir catatan amal kebaikan dan keburukan seorang muslim di setiap tahunnya. Momentum panjatan doa seperti ini telah lama menjadi tradisi umat islam dalam sejarahnya, yaitu tahun baru islam.

Sebagai sebuah tradisi keislaman yang melekat dalam kehidupan umat islam, tahun baru hijriah memiliki keotentikan nilai tersendiri sebagai sebuah perayaan, bahkan lebih dari itu tahun baru hijriah merupakan garis besar historis peradaban umat islam berlangsung. Dimana pada saat itu ditandai dengan adanya peristiwa besar, yakni peristiwa Nabi Muhammad Saw hijrah dari kota Makkah dan Madinah.

Langkah Rasulullah untuk hijrah dari Makkah ke Madinah merupakan peristiwa yang sarat akan makna. Memaknai langkah Rasulullah hijrah ini, bukanlah semata-mata kegagalan sang Rasul dalam menyampaikan risalah dakwah nya menyebarkan islam pada saat itu. Melainkan, pilihan hijrah yang dilakukan Rasulullah pada masa penyebaran islam pertama kali, tak lain memiliki tujuan untuk lebih memperluas ranah dakwah islam agar sampai ke Madinah al-Munawwaroh,

Antara Makkah dan Madinah, kedua tersebut itulah yang menjadi titik destinasi dakwah Rasul pada masa awal keislaman. Pada kedua kota tersebut, Rasul mulai merintis jejak nya dalam menyebarkan nilai-nilai islam sebagai pondasi kehidupan masyarakat arab ketika itu, khususnya Makkah dan Madinah.

Sudah pasti tentu, sebagai suatu proses penyampaian ajaran islam yang dilakukan Rasul saat itu menerima banyak halangan dan hambatan yang kerap kali dilalui. Melihat, kultur masyarakat Makkah dan Madinah tidaklah memiliki satu kesamaan antara keduanya, hal inilah yang membuat Nabi Muhammad harus selalu bertangguh diri, meyakinkan segenap hati agar mampu menyebarkan islam dengan sebuah tindakan perdamaian dan toleransi di dalamnya.

Berawal dari kultur masyarakat yang sedemikian inilah, Rasul mampu mempersatukan keragaman masyarakat Makkah dan Madinah atau lebih kita kenal dengan sebutan kaum muhajirin dan anshar. Rasulullah menyatukan kedua kabilah arab tersebut dalam tindakan keniscayaan yang memang sudah sepantasnya ada dalam nilai-nilai islam bukanlah sebagai agama, melainkan islam adalah sebuha tindakan. Tindakan dalam bersikap dan berbuat kebaikan dalam bingkai islam yang rahmatan lil alamien.

Semangat hijrah yang dilakukan Rasulullah pada saat itu, dengan menyatukan keberagaman sesuai kultur yang berkembang antara masyarakat Makkah dan Madinah, semuanya terangkum secara rapi dalam isi perjanjian Piagam Madinah. Dalam piagam Madinah inilah tidak ada satu teks perjanjian satupun yang didalamnya Rasul menyebutkan esensi keagamaan di dalamnya, akan tetapi dalam Piagam Madinah tersebut Rasulullah senantiasa memberikan gambaran pada seluruh umat islam saat itu, bahwa islam merupakan sebuah tindakan yang sejatinya memang harus dimiliki setiap orang dengan notabene muslim.

Dari sini, sudah seharusnya kita sebagai umat islam selalu memegang teguh dalam bingkai keyakinan kita, bahwa memahami islam bukanlah sebagai sebuah agama semata, akan tetapi islam sudah selayaknya menjadi gelora dalam tindakan kita, yang terimplementasikan dengan baik melalui sikap, tindakan, serta keputusan dalam menimbang tindak tanduk kita sehari-hari dengan tuhan (muamalah ma’allah), dengan sesama manusia (muamalah ma’annas), dengan berbuat kebajikan di segenap kebermanfaatan lingkungan (muamalah ma’al biah). Ketiga hal tersebut merupakan wujud keterkaitan diri sebagai hamba dalam mencapai kebaikan-kebaikan dan keridhoan Tuhan.  

Sebagai suatu peritiwa besar dalam islam, mari kita jadikan tahun baru hijriah ini sebagai semangat dalam menggelorakan kebaikan. Sudah saat nya kita berpindah, hijrah dari tindak tanduk keburukan menjadi manusia yang selalu mengimplementasikan kebaikan-kebaikan iman dan islam. Sudah saat kita bersama menyerukan suara kasih sayang yang meneduhkan kepada sesama, mendekap cinta ukhuwah sebagai sikap kemanusiaan, menebar kebermanfaatan dan pada akhirnya, kelak kita akan sampai pada titik sebagai seorang hamba yang menuai bekal kebajikan atas tindaka terpuji yang kita lakukan.

Ditulis Oleh:

Achmad As’ad Abd. Aziz

Anggota Aliansi Jurnalis Muda IDIA (AJMI), Mahasiswa Fakultas Tarbiyah, Program Studi Pendidikan Agama Islam.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *