Sadar Akan Keberagaman

Pondok pesantren Al-Amien Prenduan baru saja sukses dengan acara besar tahuannya, yaitu Apel Tahunan dan Parade Konsulat Sabtu dan Ahad kemarin, 14-15 September 2019. Acara dengan tema utama “Bersatu dalam Ukhuwah, Menuju Kejayaan Islam” tersebut digelar di kompleks Al-Amien 2. Pada hari pertama, Apel Tahunan 2019 yang diikuti oleh seluruh keluarga besar Al-Amien Prenduan yang meliputi Ma’had Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah (TMI) Putra & Putri, Ma’had Tahfidz Al-Qur’an (MTA) Putra & Putri, Pondok Tegal, Pondok Putri 1, serta Institut Al-Amien Prenduan (IDIA) Putra & Putri. Pada hari kedua, Parade Konsulat 2019 yang dilaksanakan terpisah (putra dan putri) juga mewarnai hari libur masyarakat luar dengan diikuti oleh puluhan barisan. Di lingkungan putra, Parade Konsulat 2019 diikuti oleh 31 barisan yang terdiri dari Paskibraka, Barisan Bhineka Tunggal Ika, Marching Band Al-Amien Prenduan, mahasiswa IDIA, santri kelas akhir TMI, santri kelas akhir MTA serta 25 konsulat dari seluruh penjuru Nusantara dengan penampilan yang menonjolkan budaya masing-masing daerah.

Acara seperti ini sadar tidaknya mengingatkan kita kembali akan keberagaman bumi Nusantara kita, Indonesia. Sebagai warga negara yang lahir dan besar di atas bumi Indonesia, di bawah naungan langit Indonesia, dalam dekapan satu-kesatuan NKRI seharusnya mendorong hati kita untuk jatuh ke dalam jurang kecintaan yang tak berdasar kepada negeri ini. Kita pun pastinya tahu bagaimana negeri ini dalam peta sejarah perjalan. Walau tidak tahu secara sempurna cerita dari awal, setidaknya kita tahu bagaimana darah para leluhur yang tumpah dan hilang diserap bumi pertiwi ini oleh kejahatan serta jajahan yang begitu panjang dari negeri-negeri lain. Ratusan tahun menjadi budak di rumah sendiri bukanlah suatu hal yang sepele, yang hanya bisa digambarkan lewat cerita-cerita di film-film kemerdekaan, dilukiskan di gambar-gambar perjuangan atau dinarasikan dalam cerita-cerita heroik yang sudah tak terhitung jumlahnya. Lebih dari itu, sejatinya para leluhur dan pahlawan-pahlawan yang dengan rela mengorbankan hidupnya demi satu kata “merdeka” adalah tiang pengokoh jiwa generasi-generasi selanjutnya lepas dan kemudian hari untuk menjadi lebih baik dengan inspirasi perjuangan mereka. Seringkali derita mereka kita rasakan hanya sesaat – misalnya setelah mendengar pidato kemerdekaan di lapangan upacara pada 17 Agustus dan semacamnya, lalu setelahnya hilang perlahan-lahan ikut oleh kesibukan sehari-hari.

Alangkah baiknya jika kita sudah sadar akan perjuangan dan pengorbanan para pahlawan yang sudah lewat tempo hari, sejenak kita kembali rasakan dan renungkan bahwa teriakan mereka, keringat mereka, darah mereka hingga nyawa mereka adalah murni untuk Indonesia yang lebih baik. Sebagai generasi penerus bangsa yang masih menginjakkan diri di atas tanah air tercinta, yang masih menghirup udara dalam dekapan langit Nusantara, apa yang sudah kita perbuat? Mari hengkang sejenak dari tempat berpikir kita untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut; sudah berapa kali keluarga, sahabat, teman atau yang tidak kita kenal sekalipun terjerumus ke dalam kasus suap, korupsi, narkoba, kriminal hingga akhirnya merugikan orang lain? Sudah berapa lama kita duduk dan diam menyaksikan orang-orang merusak bumi yang sudah jelas merupakan unsur tak terpisahkan dari kehidupan yang nyaman – tak perlu terlalu jauh memikirkan penggundulan hutan atau perburuan hewan-hewan langka dan dilindungi – seperti membuang sampah sembarangan ke sungai atau lahan yang bukan tempatnya lalu mencemari lingkungan, menyebar kabar yang belum pasti bahkan sengaja memuat dan menyebarkan berita palsu lalu terjadilah suatu konflik dan lari dari pertanggung-jawaban yang selanjutnya dengan enaknya menyalahkan kinerja pemerintah dan berdemo?.

Sebagai sisipan, keberagaman Indonesia kita sedang ada dalam zona merah terkait kasus kerusuhan di Papua. Saudara-saudara kita yang di sana kini belum tenang dengan keadaan, sedang kita dengan enaknya hanya membaca berita tanpa melakukan sekecil apapun perbuatan dan hanya bisa berseru mengeluh. Suasana 74 tahun kemerdekaan Indonesia nampaknya tak terlalu jauh dari jangkauan ingatan kita, dengan mudah kita bisa menyaksikan iklan-iklan atau ajakan-ajakan dan semacamnya menggebu-gebu di mana-mana. Entah di kehidupan maya atau nyata, tulisan searah arti dengan ‘Dirgahayu Indonesia-ku’ terlihat di mana-mana. Lalu para pembina-pembina upacara dari berbagai tempat berpidato dengan semangatnya menggunakan narasi kemakmuran, persatuan, kejayaan dan kemajuan Indonesia. Namun tak jauh dari hari tersebut, Indonesia bagian timur, khususnya Papua negeri Cenderawasih memanas. Konflik kembali mewarnai perjalanan Indonesia dalam lintasan sejarah sejak 17 Agustus 1945. Jika niat adalah dasar dari segala perbuatan, maka kesadaran adalah kunci dari semua perbuatan. Kita sebenarnya sudah tahu kalau kita berbuat ini maka akan menyebabkan hal itu, kita sudah tahu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang bermanfaat dan mana yang tidak. Namun semuanya akan hilang, jika kita sudah tidak sadar akan semua hal itu.

Mari simpan baik-baik apa-apa yang sudah lewat dan terjadi untuk kemudian diambil hikmahnya dan menjadi titik baru untuk menjadi warga negara yang benar-benar mau dan mampu berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta dari segala unsur kehidupan dan kematian yang telah menciptakan bumi Nusantara yang sedemikian rupa indah dan menakjubkannya dengan para pahlawan yang dengan kemurnian hati mereka dengan gigih merebut tanah Nusantara dan mengembalikan sang Merah Putih ke pengibaran kegagahannya sehingga sekarang kita bebas dari perbudakan dan merdeka untuk mandiri menjalani kehidupan yang lebih baik dalam keberagaman.

Mari mengingat sejenak tentang hal-hal berikut sebelum kita beranjak dari renungan.

Indonesia, merupakan negara dengan penduduk terpadat ke-4 di dunia, negara kepualauan teresar di dunia dengan luas keseluruhan wilayahnya 1862893 km2, mempunyai 17.504 pulau-pulau yang berjejer dan sambung-menyambung dari Sabang sampai Merauke, mempunyai total 1.340 lebih suku bangsa dengan jumlah bahasa yaitu 700 bahasa. Tentu, semuanya adalah harta bernilai, sebuah kebanggaan yang harus dijaga oleh kita, bangsa Indonesia dengan jumlah yang besar, 270.054.853 jiwa di bawah naungan Garuda Pancasila, Bhineka Tunggal Ika.

Tak ada kata terlambat untuk menjadi warga negara yang lebih baik, yang mampu hidup dalam satu-kesatuan NKRI dengan beragam perbedaan yang meliputi agama, suku, bahasa, ras dan lain-lain. Atas nama bangsa Indonesia – negeri yang besar lagi perkasa dengan Garuda Pancasila dan Bendera Merah-Putihnya, mari bersyukur dan sadar bahwa sekarang kita ada dalam keberagaman negeri tercinta Indonesia.

Ditulis Oleh;

*Moh. Syarif Saifa Abiedillah

Santri kelas VI IPSI A asal Sumenep

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *