[COVID-19] SANG SURYA, RONA SENJA DAN SEBUAH KEHIDUPAN

Kau tahu, bagi sebagian orang mungkin kebahagiaan sederhana yang bisa didapat secara cuma-cuma pada setiap gerak detik jamnya adalah dengan menikmati siraman cahaya rona senja sebelum gelap malam menjemput. Semburat cahaya berwarna merah yang berpadu dengan jingga dan menghias langit barat benar-benar merona indah setiap harinya. Sang surya benar-benar patut untuk dijadikan cermin berkehidupan untuk penduduk semesta bumi. Bayangkan saja, seberkas cahaya indah masih bisa dipancarkan oleh sang mentari meskipun sebentar lagi dirinya akan diculik oleh malam untuk disembunyikan dalam kegelapan.

Ah, sulit rasanya jikalau harus meruntutkan satu-persatu keindahan-keindahan yang ada pada waktu senja. Jika kau mau, keluarlah dari rumahmu dan carilah sebuah tempat di mana kau bisa melihat cakrawala barat dengan leluasa. Kemudian tunggu sampai waktu senja datang dan saat itulah, kau benar-benar harus merenung tentang pesan apa yang dikirim oleh Tuhan lewat rona cahayanya. Tapi, melihat situasi yang terjadi pada tahun 2020 ini, sebaiknya kau tak memaksakan diri untuk beraktivitas seperti biasanya, termasuk keluar rumah untuk menikmati rona senja. Bukankah pemerintah kita sudah mendeklarasikan hal ini, bahwa kita dapat membantu memperlambat bahkan memutus rantai penyebaran wabah mengerikan Covid-19 ini dengan tetap tinggal di dalam rumah? Ya, mungkin kau berpikir bahwa ini hanya gertakan kecil yang tak berarti apa-apa, mungkin sampai saat ini kau masih ngeyel pergi dari rumah untuk aktivitas apa saja, mungkin kau juga tak menyadari bahwa sudah ada ribuan nyawa yang telah melayang sia-sia, atau mungkin kau memang tak pernah peduli tentang kehidupan umat manusia yang benar-benar sedang dalam ancaman kemusnahan.

Mari renungkan bersama, apa jadinya jika ternyata penyebaran wabah virus mengerikan ini tak mengenal tanggal akhir? Ia akan terus menyelimuti kehidupan kita dengan berbagai macam ketakutan – takut untuk beraktivitas, takut untuk berhubungan dengan orang lain dan ketakutan-ketakutan lainnya. Tentu, wabah Covid-19 ini merupakan salah-satu sejarah kelam kehidupan kita sebagai makhluk hidup di muka bumi ini yang patut untuk kita ceritakan nanti kepada anak-cucu-cicit kita semua. Kita akan menceritakan bahwa pada tahun 2020 ini, bumi kita telah mengalami musibah besar yang menakutkan lagi mematikan. Semua cerita pilu akan kita ceritakan kelak kepada anak-cucu-cicit kita, mulai dari tangisan, kekacauan hingga kematian akan mereka dengan dengar dengan seksama. Kemudian pada waktu yang akan datang selanjutnya, kehidupan dengan harapan pada masa depan yang akan digenggam oleh anak-cucu-cicit kita akan menjadi lebih baik karena mereka bisa mengambil satu pelajaran penting dari kisah bumi yang telah kita ceritakan. Mereka benar-benar akan lebih memperhatikan lagi bagaimana seharusnya ritme kehidupan berjalan, bagaimana harmoni keindahan berkehidupan harus dijaga, serta bagaimana mereka harus menyikapi suatu kondisi yang menitikberatkan pada kepentingan bersama.

Tentu, kisah yang akan kita ceritakan bukan sekedar cerita pilu seperti tangisan, kekacauan dan kematian saja. Kita juga akan menceritakan bagaimana sikap kebijaksanaan yang kita ambil untuk memulihkan setiap sendi kehidupan. Kelak, ketika kita sudah menyentuh usia tua, anak-cucu-cicit kita akan datang kepada kita pada suatu waktu yang berbeda-beda. Apa yang mereka inginkan dari kita? Mereka akan menanyakan bagaimana kehidupan kita saat masih muda, apa saja pengalaman terbaik kita, dengan siapa kita menghabiskan waktu, atau hal apa yang paling menarik dari alur perjalanan kita. Berbagai pertanyaan yang diajukan kepada kita bisa dijawab dengan menceritakan kisah bumi pada tahun 2020 ini.

Nak! Dulu bapak, kakek, ibu dan nenek pernah berada dalam satu situasi di mana bumi kita seperti akan melepaskan kehidupan dari tubuhnya. Saat itu ratusan ribu nyawa manusia melayang sia-sia karena terinfeksi virus mematikan yang kita sebut dengan virus corona. Ketakutan tersebar di mana-mana, manusia menutup diri di dalam rumahnya berharap tak ada yang mengetok pintu atau jendela walau hanya sekedar untuk menyapa. Kalaupun ada yang berani, mungkin mereka akan membatasi jarak atau setidaknya menghindari kontak tubuh.

(Sang anak-cucu-cicit akan menyela di tengah-tengah cerita)

Wah! Seberapa menakutkan sih virus corona itu kok sampai orang-orang ketakutan semua?

(Kita pun akan melanjutkan ceritanya)

Bukan saja karena menakutkan, tapi dulu kami sadar bahwa pemerintah menganjurkan kita untuk tetap tinggal di rumah bukan sekedar lelucon yang bisa dipermainkan. Meskipun ada orang yang daerahnya tidak terpapar virus ini, mereka tetap tinggal di dalam rumah demi nasib orang-orang lain seperti para tenaga medis yang berjuang 24 jam, para relawan yang tanpa lelah membantu, orang-orang yang menggalang dana, orang-orang yang menggelontorkan harta mereka, orang-orang yang siap sedia pergi ke sana ke mari untuk menyemprotkan desinfektan, orang-orang yang meneriakkan kepedulian mereka lewat aksi dan orang-orang yang menghargai kehidupan orang lain dengan ikut serta membantu pemerintah memperlambat dan memutus rantai penyebaran wabah ini.

Syukur kepada Tuhan! Karena usaha dan doa yang kami lakukan – walaupun hanya membantu dengan berdiam diri di dalam rumah, kehidupan perlahan kembali pulih, ketakutan perlahan menghilang, tangisan perlahan mereda dan kehidupan berangsur normal kembali. Untung saja waktu itu kami tidak ngeyel kepada pemerintah. Kalau tidak, mungkin kakek, nenek, bapak, ibu, tetangga kita, kerabat kita dan saudara-saudara kita yang lain tidak akan bisa menceritakan hal ini kepada kamu. Mungkin kita akan sengsara dan tak akan pernah bertemu.

Berbagai pertanyaan yang diajukan kepada kita itu mungkin saja bisa dijawab dengan menceritakan kisah bumi yang lain pada tahun 2020 ini.

Nak, dulu kakek pernah berada dalam satu situasi di mana bumi kita seperti akan melepaskan kehidupan dari tubuhnya. Saat itu ratusan ribu nyawa manusia melayang sia-sia karena terinfeksi virus mematikan yang kita sebut dengan virus corona. Meskipun ketakutan sudah tersebar di mana-mana, kakek dan orang-orang lain tetap saja berani untuk keluar rumah, beraktivitas seperti apa adanya tanpa memakai masker, tidak menjaga jarak dan tak ada ketakutan sama-sekali.

(Sang anak-cucu-cicit akan menyela di tengah-tengah cerita)

Wah! Memang virus corona itu tidak menakutkan ya, kok orang-orang tetap berani keluar rumah?

(Kita pun akan melanjutkan ceritanya)

Bukan tidak menakutkan, tapi dulu kami tidak pernah sadar bahwa pemerintah menganjurkan kita untuk tetap tinggal di rumah bukan sekedar lelucon yang bisa dipermainkan. Meskipun daerah kami tidak terpapar virus ini, kami tetap tidak mau tinggal di dalam rumah dan tidak pernah peduli  terhadap nasib orang-orang lain seperti para tenaga medis yang berjuang 24 jam, para relawan yang tanpa lelah membantu, orang-orang yang menggalang dana, orang-orang yang menggelontorkan harta mereka, orang-orang yang siap sedia pergi ke sana ke mari untuk menyemprotkan desinfektan, orang-orang yang meneriakkan kepedulian mereka lewat aksi dan orang-orang yang menghargai kehidupan orang lain dengan ikut serta membantu pemerintah memperlambat dan memutus rantai penyebaran wabah ini. Ya, kami dulu tidak pernah sadar.

Taubat kepada Tuhan! Karena peremehan dan ketidakpedulian kami – walaupun hanya untuk membantu dengan berdiam diri di dalam rumah saja kami pun tidak bisa, kehidupan benar-benar lambat untuk kembali pulih, ketakutan malah semakin meluas, tangisan semakin keras dan kehidupan benar-benar menjadi lebih buruk. Kalau saja waktu itu kami tidak ngeyel kepada pemerintah, mungkin kakek, nenek, bapak, ibu, tetangga kita, kerabat kita dan saudara-saudara kita yang lain bisa menceritakan hal ini kepada kamu bersama-sama. Mungkin kita akan bahagia dan hidup bersama.

Sekarang kita sudah punya dua kisah untuk diceritakan nanti kepada anak-cucu-cicit kita. Terserah kita mau menceritakan kisah yang pertama atau kisah yang kedua. Pada dasarnya, anak-anak kita akan sama-sama mengerti bahwa kepedulian kita terhadap sesama memang harus dinomor-satukan agar kehidupan penuh dengan kebahagiaan. Mereka akan sama-sama bisa mengambil pelajaran dari kedua kisah itu, peduli kemudian bahagia atau acuh-tak acuh kemudian sengsara.

Setiap musibah pasti akan berlalu seperti senja dengan rona cahayanya yang pasti tenggelam di malam hari. Apa kita harus seperti senja yang bisa memberikan keindahan pada akhir waktunya? Terserah kita saja, namun alangkah lebih baik jika kita bisa menjadi seperti sang surya, sepanjang ia berkelana dari timur ke barat banyak manfaat yang diberikan. Sang surya memang akan tenggelam dengan rona cahaya senjanya, namun ia selalu berusaha untuk kembali lagi pada hari esok dengan rona cahaya pagi yang tak kalah menakjubkan, kemudian menebar manfaat sinar kehidupan sepanjang hari. Sang surya akan terus begitu sampai pada akhirnya, Tuhan pemilik segalanya akan memanggilnya kembali – bahwa tugasnya sebagai salah-satu unsur kehidupan telah selesai.

Mulai sekarang, mari renungkan kembali kebaikan apa yang sudah kita lakukan di masa-masa kritis seperti ini. Tak cukup hari ini, kita harus kembali lagi esok dengan kebaikan-kebaikan yang lain, membantu kehidupan pulih demi kebahagiaan-kebahagiaan yang akan terlahir selanjutnya. Tak bisa melakukan kebaikan-kebaikan seperti tenaga medis, orang-orang yang menggalang dana, menggelontorkan harta dan lain-lain? Tetap tinggal di rumah saja sudah suatu kebaikan dan bukti bahwa kita adalah salah-satu orang yang peduli terhadap kehidupan. Dengannya, virus Covid-19 ini akan lebih mudah diperlambat dan diputus penyebarannya. Terima kasih telah menjadi orang yang peduli!

*Moh. Syarif Saifa AbiedillahPemred QA tahun 2019-2020

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *