Mari, Rajut Kembali Harmoni

Senin, 19 Agustus 2019, tepat dua hari setelah upacara hari kemerdekaan negeri kita tercinta ini, Ibu Pertiwi kembali melinangkan air mata. Penyebabnya datang dari pulau yang terletak di bagian tertimur negeri ini, Papua tepatnya di kota Manokwari, Sebuah aksi unjuk rasa (demo) yang harus diakhiri dengan kerusuhan.

Kerusuhan yang diwarnai aksi pembakaran bangunan, rumah warga, bahkan objek vital pemerintahan seperti gedung DPRD ikut dijadikan sasaran para pelaku kerusuhan. Selain itu para pengunjuk rasa juga memblokade sejumlah ruas jalan di kota Manokwari.

 Setelah diusut, penyebab terjadinya demonstrasi yang diakhiri dengan kerusuhan dilatarbelakangi protes terhadap salah satu ormas dan aparat keamanan yang dianggap menghina mahasiswa Papua di Kota Surabaya, Malang dan Semarang.

            Kejadian tersebut cukup menyita perhatian public bahkan viral di pelbagai media social. Banyak konten-konten yang membuat suasana semakin keruh dan memanas pasca terjadinya kerusuhan. Misalnya ada gambar yang beredar di media social WhatsApp yang menggambarkan orang papua dan diberi caption dengan nada sindiran yang membuat hati kita semakin pilu ketika membacanya. “ Jika Kami Monyet, Jangan Paksa Monyet untuk Mengibarkan Bendera Merah Putih.” Begitulah kira-kira dan masih banyak gambar-gambar lain yang beredar dengan tema yang sama dan tentunya mengandung unsur diskriminatif yang mengaitkan orang Papua dengan Monyet dan Monyet jangan pernah dipaksa untuk mengibarkan bendera Merah Putih.

            Banyak tokoh negeri yang berusaha mendinginkan suasana agar tidak kembali mengeruh seperti Gubernur Jawa Timur, Ibu Khofifah Indar Parawansa yang secara khusus menelpon Gubernur Papua dan menyampaikan permohonan maaf atas kerusuhan yang terjadi di Manokwari.

            Saat ini memang keadaan dan kondisi emosi masyarakat khususnya masyarakat Papua kembali mendingin dan stabil, namun yang patut kita renungi bersama-bersama sampai kapan benih intoleransi, disharmonisasi dan diskriminasi kita biarkan tumbuh subur di negeri multikultural ini?

            Maka cara yang bisa kita lakukan untuk menghadapi tumbuhnya benih-benih Intoleransi, disharmonisasi dan diskriminasi yang tumbuh di negeri ini tentunya dengan menumbuhkan pula benih-benih toleransi, pluralisme, inklusifisme dan harmonisasi di kalangan generasi muda kita sebagai pemegang estafet perjuangan dan pembangunan negeri ini.

Salah satu senjata yang bisa kita pakai untuk bergerilya melawan oknum-oknum yang ingin merobek-robek keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan melalui dunia Pendidikan dengan tiga busur panahnya (Tri Pusat Pendidikan).

Busur pertama; pendidikan di rumah sebagai institusi awal pendidikan yang paling dekat dengan anak sekaligus menjadi tempat pertama anak tumbuh dan berkembang. Busur kedua; pendidikan di sekolah yang bertindak sebagai salah satu tri pusat pendidikan, tempat anak belajar dan dididik agar menjadi generasi emas bangsa yang cakupannya lebih luas dari rumah dan lebih sempit dari lingkungan masyarakat. Dan busur terakhir; lingkungan masyarakat sebagai pusat pendidikan yang paling kompleks tempat dimana semua lapisan masyarakat berinteraksi dan berkomunikasi dan menjadi salah satu barometer dan tolak ukur sejauh mana keberhasilan proses pendidikan di rumah dan di sekolah.

Di rumah tentunya orang tua memiliki peran sentral terutama sosok seorang ibu yang menjadi al-madrasatul ula (pendidik pertama) bagi anak. Disini orang tua memiliki andil yang cukup besar dalam menanamkan benih-benih toleransi dan mengenalkan anak tentang perbedaan dan kemajemukan tanpa anak merasa mereka berbeda dan bukan bagian dari kita. “Mereka berbeda namun mereka adalah kita dan kita adalah bagian dari Indonesia.” Prinsip inilah yang harus didoktrin sejak dini agar anak mengenal dan terbiasa dengan perbedaan dan kemajemukan tanpa merasa risih bahkan benci.

Setelah dicekoki dari rumah, sekolah dengan seluruh komponennya melanjutkan peran rumah dengan mengajarkan sekaligus mengaplikasikan dan membiasakan anak hidup bermajemuk yang dimulai dalam skala yang kecil terlebih dahulu. Mengajarkan sekaligus memperkenalkan mereka berbagai macam unsur kemajemukan yang dimiliki negeri ini. Mendesain sedemikian pola dan program pendidikan dan pembajaran sedemikian rupa sehingga para siswa terbiasa berinterkasi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang yang berbeda baik dalam segi agama, ras, suku dan budaya. Dengan model interaksi seperti itu pola harmoni di tegah keberagaman mulai terbagun.

Setelah dibentuk, dibiasakan dan didesain sedemikian rupa di rumah dan sekolah kini giliran lingkungan masyarakat sebagai tri pusat pendidikan yang meliki cakupan dan jangkauan yang paling luas dibandingkan sekolah dan rumah yang memegang peranan urgen sekaligus ujung tombak untuk membudayakan budaya toleran, inklusif dan menghargai keberagaman dan perbedaan.

Ketika lingkungan masyarakat menjadikan budaya toleran, inklusif sebagai salah satu tradisi yang akan terus berkembang, dijaga, dipelihara dan menghiasi proses interaksi dan komunikasi dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga generasi kita tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan yang inklusif dan toleran maka mereka akan menjadi agent of change dalam menyebarkan dan membumikan kehidupan yang toleran sehingga harmoni di tengah keberagaman akan tumbuh dan berkembang pesat diseluruh antero negeri kita tercinta ini. Sehingga mereka tidak akan mudah terprovakasi dengan hal-hal dan tindakan yang mengandung unsur-unsur diskriminatif, rasis dan radikal. Yang mereka lakukan hanyalah merajut dan menyebarkan harmoni di tengah keberagaman.

Ditulis Oleh

*Nur Holis

Mahasiswa FEBI IDIA Prenduan, Wakil Ketua Aliansi Jurnalis Muda IDIA

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *