Merawat Khazanah Keilmuan Islam
Tingkat keilmuan senantiasa menjadi proyeksi penting sebagai sebuah cara dalam menyelesaikan setiap problematika kehidupan. Eksistensi keilmuan yang tinggi senantiasa akan memberi jalan keluar akan keterbelengguan dalam menyelesaikan masalah yang setiap hari nya berkembang dalam hidup. Maka searah dengan tujuan akan keberadaan ilmu tersebut, akan mengantarkan umat manusia pada derajat kemuliaan, ketentraman, dan sebagai langkah menyelesaikan setiap permasalahan dengan bijak, karena dilandasi oleh keilmuan.
Hakikat ilmu sesungguhnya terletak pada solving problem-nya, ketika ilmu itu tidak bisa menyelesaikan problem umat dan problem kemanusiaan, maka ilmu tersebut tidak bisa dikatakan bermanfaat. Karena Allah menganugerahkan ilmu kepada manusia sebagai perangkat solving problem, agar manusia bisa menepis semua permasalahan yang menghambat kehidupannya.
Ada satu fokus yang menjadi bahasan sekaligus permasalahan utama yang terkait kemajuan keilmuan bangsa kita saat ini, yaitu tentang bagaimana meningkatkan minat baca sebagai tingkah tradisi yang harus dipupuk dalam literatur masyarakat kita. Hampir miris di setiap tahunya selalu berputar hanya pada fokusan itu saja sehingga menarik untuk dianalisis, apakah dari tahun ke tahun minat baca masyarakat kita tidak juga menjadi baik atau justru sebaliknya.
Mari kita membaca Survey lain mengenai minat baca juga dilakukan oleh Central Connecticut State University di New Britain, Amerika Serikat. Survey yang dilakukan dari tahun 2003-2014 menunjukan bahwa diantara 61 negara dunia yang disurvey Indonesia berada pada peringkat 60 terkait dengan minat membaca buku. Indonesia hanya unggul dari Botsawana, sebuah negara di Benua Afrika bagian selatan. Sedangkan peringkat 1 ada negara Finlandia di Eropa Utara yang menurut survey ini memiliki minat baca buku paling tinggi.
Maka dari sekelumit permasalahan perihal tingkat baca masyarakat kita yang rendah ini, tak jarang, kita kerap kali dihadapkan dengan kesalahan-kesalahan dalam menelaah dan menafsirkan sebuah ilmu. Saat ini, khususnya ranah akademisi tengah digegerkan dengan adanya disertasi yang digarap oleh Mahasiswa Doktoral Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul “Konsep Milk Al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital”
Munculnya pemahaman yang menyimpang akan kesalahan pemikiran terhadap suatu keilmuan, tentu diawali dengan pemaknaan akan konsepsi sebuah ilmu yang salah. Peneliti, Abdul Aziz hanya mengkaji konsep Muhammad Syahrur dalam satu pandangan semata. tersebut Dalam penafsiranya, Syahrur hanya berfokus pada budak perempuan yang dimaknai secara kontemporer, sehingga, pembahasannya tidak komprehensif dengan kultur masyarakat saat ini. Tentu hal ini perlu perhatian yang sangat intens sebagai langkah memahami suatu keilmuan yang terus berkembang di masa-masa yang akan datang.
Kemajuan khazanah keilmuan, khususnya dalam dunia islam telah berlangsung berabad-abad lamanya. Salah satu bukti historis majunya keilmuan islam bisa bersama kita simak pada zaman ke-khilafahan Bani Abbasiyah saat itu. Banyak peninggalan-peninggalan sejarah, khususnya dalam kemajuan ilmu keislaman pada masa itu, yakni maktabah atau perpustakaan. Adanya perpustakaan terus mengalami perkembangan yang signifikan di setiap periodisasi zamanya.
Identitas Dinasti Abbasiyah sebagai masa kemajuan keilmuan dalam dunia islam bisa dilihat dari seberapa besar kegiatan atau kajian keilmuan yang berlangsung saat itu. Kajian-kajian akan suatu keilmuan saat itu berlangsung di perpustakaan yang diberi nama Darul Hikmah atau Baitul Hikmah. Al-Ma’mun sebagai pendiri perpustakaan pertama pada masa Bani Abbasiyah saat itu percaya bahwa kemajuan suatu peradaban akan bisa dicapai dengan memerhatikan secara penuh penguasaan ilmu pada masa itu. Al-Ma’mun selalu memerintahkan para tokoh cendikiawan muslim untuk mempergunakan waktu nya menulis dan mengarang kitab-kitab, menerjemahkan suatu ilmu sebagai langkah yang ditempuh Al-Ma’mun untuk menghidupkan perpustakaan, dan pada akhirnya pada masa itulah, perkembangan peradaban islam berada dalam masa keemasan.
Dari Baitul Hikmah ini masyarakat terbiasa bergumul dengan aktivitas ilmu pengetahuan. Bahkan lebih dari itu, ilmu pengetahuan juga menjadi berkembang dan melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Imam Bukhari, Imam Malik, Imam Syafi’i dan lain sebagainya. Baitul Hikmah ini menjadi contoh bahwa Perpustakaan memiliki makna dan peran yang luas di masyarakat.
Baru-baru ini kita bisa menyaksikan perpustakaan ulama yang terletak di wilayah Jakarta Selatan, Maktabah Kanzul Hikmah. Maktabah Kanzul Hikmah sebagai perpustakaan pertama di Indonesia yang berfokus pada pengumpulan karya-karya Alawiyyin atau nasab keturunan Khalifah Ali Bin Abi Thalib.Disana terdapat karya-karya penulis dari ulama dan sarjana yang masih memiliki garis keturunan Nabi Muhammad SAW yang tersebar di nusantara.
Hingga saat ini data koleksi buku yang masuk dalam perpustakaan tersebut mencapai 12 ribu judul buku, dan koleksi lainnya seperti arsip, dokumen, rekaman audio visual, dari kesekian koleksi tersebut berhasil dikumpulkan dan didapat melalui langkah penyelusuran langsung dari para keturunan maupun keluarga Alawiyin.
Berawal dari sebuah komitmen, sangat penting keberadaanya untuk kembali meneguhkan peran perpustakaan sebagai central keilmuan, seperti hal yang sudah dilakukan saat perkembangan keilmuan islam pada masa ke-emasan. Seperti hal nya Kanzul Hikmah, perpustakaan harus tetap mempertahankan eksistensinya sebagai lembaga yang terus berusaha tanpa henti dalam upaya membangkitkan kemampuan melek baca dalam suatu peradaban, sehingga dari langkah itulah akan tertanam kesadaran menjadi makhluk pembelajar yang mengkaji ilmu sepanjang hayat. Tumbuhnya jiwa-jiwa pembawa perubahan agent of change, pembangunan dan menampilkan manusia-manusia yang berbudaya luhur.
Ditulis Oleh;
Achmad As’ad Abd. Aziz
Anggota Aliansi Jurnalis Muda IDIA (AJMI), Mahasiswa Fakultas Tarbiyah, Program Studi Pendidikan Agama Islam.
Komentar Terbaru