Pimpinan Ceritakan Impian dan Cita-Cita Awal Berdirinya Al-Amien.

QA-TMI. Kunjungan studi banding yang dihadiri kurang lebih 50 santri dan santriwati Pondok Pesantren Al-Ishlah Jember ini menjadi wadah kehangatan bagi kedua pondok pesantren, yakni Al-Amien Prenduan dan Al-Ishlah dalam menjalin silaturrahim antar keduanya.

Dalam hal ini, saat proses penyambutan kedatangan Pondok Pesantren Al-Ishlah di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, KH. Dr. Ahmad Fauzi Tidjani, MA, selaku Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, menceritakan secara runtut suka duka para pendahulu Al-Amien, mulai dari merintis, melanjutkan estafet perjuangan hingga mengembangkan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan hingga saat ini.

Bertempat di Gedung Suara Dakwah Al-Amien Prenduan (RASDA) dalam kesempatan ini Pimpinan menegaskan bahwa mengembangkan pesantren harus senantiasa memerhatikan kultur yang berkembang di setiap daerah, hal ini menjadi faktor utama yang sangat penting, sebab permasalahan kultur akan selalu berkaitan erat menyangkut eksistensi lembaga pondok pesantren di setiap saat.  Senada dengan apa yang diungkapkan KH. Dr. Ahmad Fauzi Tidjani, MA.

“Karena itu menyangkut terkait kultur, budaya, jadi ada semacam rasionalisasi berpikir dan masuk dalam manajemen, dan intinya kita menjaga kultur yang sudah terbina dari kiai yang lama, dan itu benar-benar tergantung menyangkut eksis nya pondok. Eksisnya pondok itu benar ada beberpa prinsip yang harus kita pegang teguh, yaitu sistem pendidikan,” tegas Doktor Bidang Ilmu Hadist Universitas Omdurman Sudan ini.

Berdirinya pondok pesantren Al-Amien Prenduan dalam rintisan pertamanya, penuh dengan berbagai tantangan, bahkan tak jarang terjadi gejolak yang bersifat buruk di tengah masyarakat.

“Itu terjadi pada awal pendirian Al-Amien pertama, kalau seandainya Kiai Zainullah bisa datang, wah pasti beliau akan menggambarkan bagaimana Al-Amien dalam rintisan pertamanya. Dimana jarak antar tetangga, masyarakat dengan Al-Amien ini kurang akur, kurang baik, berbeda dengan zaman kakek, Kiai Djauhari Chotib, karena beliau punya nama,” lanjutnya.

Penilaian masyarakat pada kala itu terhadap Al-Amien bisa dibilang sangat negatif sekali, sebab banyak masyarakat daerah Prenduan kali itu belum bisa menerima sepenuhnya Al-Amien sebagai sebuah institusi pesantren dikarenakan banyak ketidaksesuaian tradisi dengan mayoritas masyarakat Madura ketika itu.

“Begitu ada yang ngaji kitab dilihat tetangga pakai dasi, wah anggapanya tetangga ini pesantren apa? Pesantren Belanda.”

Melihat tantangan yang ada di depan mata begitu besar, tak lantas membuat para pendiri Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan putus asa, menyerah dengan keadaan dan kultur masyarakat yang saat itu sangat alergi dengan adat-adat koloni Belanda. Banyak langkah, tantangan dan tahapan yang dilalui dengan penuh jiwa ikhlas dalam berkiprah menegakan cita-cita suci mereka mengembangkan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan hingga saat ini.

“Dengan begitu Al-Amien, pelan-pelan , Dengan konsistennya para kiai, dan ikhlas hidup susah, Almarhum Kiai Idris, Almarhum Kiai Jamaludin Kafie,  awal-awal berkiprah di Al-Amien rela hidup dengan rumah yang bentuknya seperti gubuk, terbuat dari bambu, jadi dukungan terus ada untuk Al-Amien saat itu,” ungkap Pimpinan dengan nada tegas.

“Bahkan ada seorang PNS yang mau rela mengajar di Al-Amien ketika itu, tanpa digaji,” tambah Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan.

Tahun demi tahun kiprah Al-Amien semakin meluas, hal ini dapat dilihat dari bertambahnya jumlah santri yang begitu besar, dengan berbekal prinsip yang kuat dalam meneruskan cita-cita perintis Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, para generasi penerus ketika itu, Kiai Idris, Kiai Jamaludin Kafie, Kiai Abbasi, sangat konsisten dan menerima sepenuhnya tanggung jawab pendidikan dengan ikhlas.

“Maka tahun 85 kita dapat nikmat, kita dapat santri baru sebanyak berjumlah 600 lebih dari 10 bis dari Gontor, dari situlah Al-Amien terkenal di kancah nasional, alhamdulillah, apakah itu akan mundur? Tidak almarhum kiai Idris, Kiai Jamaludin Kafie, Kiai Abbasi, konsisten, Bismillah, mereka ketika itu menerima sepenuhnya,” ujar ketua Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jawa Timur tersebut.  

Pimpinan dalam hal ini juga menekankan sarat nilai yang paling penting dalam membangun pondasi pendidikan pesantren yang kokoh yakni penanaman jiwa guru yang menanamkan nilai juang dalam dirinya.  maka dalam kesempatan studi banding tersebut KH. Dr. Ahmad Fauzi Tidjani, MA memberikan nasehat dengan menitikberatkan pada lahirnya sikap juang untuk benar-benar menjadi pendidik yang sesungguhnya.

“Maka kami ini generasi ketiga, setelah dikukuhkan 2016 awal jadi Pimpinan, komitmen belajar, tapi tetap konsisten dalam mencurahkan semua jiwa raga, bahkan nyawa sekalipun untuk kepentingan pondok liizil islam wal muslimien, mulai dari ustadz, sampai ke muallimnya, dari muallimnya hingga ke anak didik, karyawan hingga ibu dapur, hingga saat ini berumur 67 Tahun.”

“Sistem kepemimpinan Al-Amien ini adalah sistem kolektif, masing-masing lembaga punya pengasuh, punya mudir masing-masing, tapi tetap kita memegang teguh prinsip musyawarah dalam mengambil keputusan, dan inilah yang diajarkan oleh para pendiri Gontor kepada kami,” imbuh Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan.

Selepas mendengarkan fatwa dan nasehat Pimpinan di Gedung Rasda FM, para peserta studi banding melanjutkan kegiatan studi banding nya di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, yaitu Ziarah ke Makam Alamarhumin, dan keliling kompleks TMI, dengan di dampingi para pengurus organtri ISMI. Kemudian tepat pada pukul 13.00 WIB para tamu studi banding meninggalkan kompleks Al-Amien Prenduan. (RH/12/01/20).

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *